Kamis, 21 April 2016



LEA Part 3 : REBORN
Novel Ephie Craze, 357 halaman
Pagan Press, April 2016


EPHIE CRAZE bukanlah seorang wartawan, juga bukan seorang peneliti. Dia hanyalah seorang pengarang yang meledakkan segenap energi kreatifnya—pengalaman intuisinya, petualangannya, imajinasinya, persepsinya, interpretasinya.
Sebagai pengarang, sebagai penulis, Ephie Craze telah melampaui pekerjaan-pekerjaan seorang wartawan atau peneliti. Ephie Craze melaporkan petualangannya dengan gairah seorang penulis sastra—yang menempatkan petualangan sebagai satu energi terpenting di samping membaca, dan dialog.

Gairah seorang penulis, gelora seorang petualang ini seolah menemukan ruhnya pada gagasan tentang cinta dalam novel ini. Cinta dalam novel yang dianggit Ephie Craze ini bukanlah sesederhana ide tentang kasih sayang, persahabatan, mungkin juga trauma. Lebih dari itu, energi cinta itu ditelisik secara mendalam dengan banyak pertanyaan, eksperimen filosofis khas seorang pengarang.
Dengan demikianlah, Ephie Craze kemudian mengembangkan visi dan ekspresi kepenulisannya. Kesan cinta penulis novel ini terhadap bahasa Indonesia di tengah pergaulan bahasa asing, sangatlah kuat. Ephie Craze sangat sabar menganggit kata, kalimat. Ketekunan daya ucapnya dalam mentransfer pengalaman, daya serap indrawinya—apa yang dirasakan, dilihat, diraba, juga pengetahuan lainnya—membuahkan deskripsi dalam novelnya yang sangat mendetail, hidup dan tentu saja kaya. Dengan kata lain, lebih detil ketimbang feature-feature hasil karya wartawan kesohor sekalipun.
Kiranya proses pencarian Ephie Craze bisa ditangkap dari pergulatan cintanya dalam medan bahasa yang demikian. Yakni kesadarannya bahwa bahasa tak cuma koloni penulis, seperti halnya truk yang dipaksa mengangkut pesan pengarang. Dengan bahasa, Ephie mengembangkan visi cintanya pada tanah air, kekayaan alam, dan manusia warga bangsanya; kekayaan laut, kebudayaan, kuliner.
Dan saya kira di atas itu semua, yang paling berharga dari seorang pengarang telah diperlihatkan Ephie Craze dalam novel ini, adalah kecintaannya pada nilai kemanusiaan, yakni visinya untuk tak kehilangan harkat sebagai makluk kreatif ciptaan Tuhan. Ephie Craze mengejawantahkan religiusitas ini ke dalam tokoh-tokohnya dengan sangat percaya diri.
S Jai, Editor dan Penulis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar