DALAM DOA YANG TAK PERNAH SELESAI
Kumpulan Puisi Kelompok Cager
Penyelia Abizar Purnama
Penerbit Pagan Press kerjasama Cager
Tebal 154 halaman
Romantisisme bagaikan sebuah doa, memang. Begitu pun doa, seperti halnya puisi—tak kan pernah selesai ditulis maupun dilantunkan atau dilakonkan dalam perbuatan sehari-hari. Lantas mengapa dan ada apa dengan pohon jati? Gambaran ini nyatanya tak sekonyong-konyong. Muncul dalam sajak Machali Seperti pohon jati makin meninggi/Walau akaran tajam menghunjam. Ada sejumlah kata kunci dalam sajak Kuda dan Pedati ini yang barangkali bisa menjadi sasmita perihal kepribadian, personality, karakter: kesetiaan, tiada keluh, dan gairah.
Kendati Ramadhan bukanlah satu-satunya alasan kuat untuk memperbanyak doa—dalam konteks transendental sebagaimana watak puisi romantik, seperti halnya Ramadhan bukanlah satu satunya musabab baik untuk mengirim, menulis, dan membacakan puisi-puisi. Doa maupun puisi dalam konteks romantisisme memiliki tataran yang sama dalam laku sehari-hari. Bahwa segalanya berpulang pada konsep indiviudalisme dan subjektivitas masing-masing. Jika pun ada istighotsah atau doa bersama, pembacaan puisi bersama atau antologi bersama hanyalah soal cara. Subtansinya: orang yang tidak berdoa adalah dia yang paling sombong (QS. Al Mukmin: 60). Orang yang tidak membaca atau menulis puisi dialah yang tidak mengenal keindahan—Pikiran adalah puisi, pelaksanaannya seni, tapi mana bisa sni tanpa puisi? Segala hal yang baik, yang luhur, yang keramat, pendeknya segala yang indah di dalam hidup ini adalah puisi (Surat Kartini, 2 April 1900).
Segalanya kembali pada diri atau dalam bahasa Rousseau bahwa diri merupakan sesuatu yang otonom dalam menentukan pilihannya. Persis pengertian doa dalam tradisi Budhisme—meditasi, sugesti, afirmasi—dengan mengkondisikan perubahan diri sebagai objeknya, pemurnian pikiran, perkataan dan perbuatan. Sementara dalam pengertian Islam doa seruan, panggilan, berserah diri, pendekatan, penyatuan(?).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar