MENEMBUS BATAS
Karya Siswa MA Sejahtera Pare Kediri
Editor Dianika W Wardani
Pagan Press Mei 2018
Tebal 360 halaman
Semacam Pengantar
Aguk Irawan, MN
Bismillahirahmanirrahim
Saat pertama kali membaca
antologi karya generasi sembilan ini, "Menembus Batas," saya
tertegun. Jujur, ada rasa haru, sekaligus bangga. Betapa tidak, ketika
berita ramai di luar tentang anak-anak generasi melenia plagiasi dan hanya
nyinyir di media sosial, ada anak didik Madrasah Aliyah Sejahtra, Pare,
Kediri, datang dengan segopok karya yang luar biasa indah, bagi
angkatannya. Mereka mencatat banyak hal dengan bahasa hati, melalui sastra;
cerpen dan puisi.
Satu persatu, mereka
mengungkapkan perasaanya yang gemuruh dengan kalimat puitis yang menggetarkan.
Hidup di tengah teknologi informasi yang begitu cepat, nilai-nilai
kearifan lokal yang mudah dibuang di tong sampah dan sejumlah permasalahan lain
yang menginggapinya; Saat ia terluka. Saat ia jatuh cinta. Saat ia
gagal dan patah hati. Serta saat ia ingin pergi jauh, ketika harapan sirna dari
genggamannya. Tapi semua mengisyaratkan ke satu arah; anak muda yang
gigih meraih cita, dan berani mati untuk Republik.
Begitu kira-kira saya hendak
menyimpulkan dari aneka rupa karya yang tersaji dari buku "Menembus
Batas" ini. Ada banyak sajak yang membuat saya terpukau dan dibuat
kaget saat membaca ini. Tetapi saya hanya ingin mengutip beberapa baris, yang kebetulan
secara acak saya baca:
Bersandar disegala bayangan
Seakan bintang yang tiap malamnya
Menghiasi langit itu
Berbisik dan menatap padaku
Indah menawan mendamaikan...
Menghiasi langit itu
Berbisik dan menatap padaku
Indah menawan mendamaikan...
[Winda Sofa Aprliani]
Sajak ini adalah sebuah atribut
campuran dari rasa duka, imaji-imaji yang berkeliaran, juga lahir dari
realitas-realitas sekitar yang dialami penulisnya: bersandar, bayangan,
bintang, langit, berbisik. Ia telah banyak memungut bahasa simbol, saat
orang merasa terluka atau sepi, dan ia telah menerima semua rasa
itu dengan perasaan yang gemuruh, tetapi ia menemukan sandaran yang kuat dari
bayangannya sendiri. Begitu, dalam sajak selau hadir diksi dan tipografi.
Begitu juga saat membaca
cerpen-cerpen dalam buku ini, imaji-imaji liar yang bening dan kritis hadir
sebagai pelengkap auditif dan visual. Sekedar menyebut salah satu judul
cerpen "Ajari Aku Memeluknya" begitu kuat mendedahkan sense (makna),
feeling (rasa), tone (nada), dan intention (amanat). Karenanya
antologi karya siswa angkatan sembilan ini bisa dijadikan, tidak saja hiburan,
tapi juga cermin dan pelajaran untuk kemelut masalah kehidupan.
Karenanya saya yakin, bahwa
antologi siswa ini adalah rekaman peristiwa yang yang menarik untuk dikaji,
diteliti, direnungi, dan diapresiasi. Selain itu, Sungguh saya dikagetkan
dengan puluhan judul yang indah, untuk ukuran seorang yang masih duduk di
bangku sekolah menengah atas. Saya jadi merasa ingin mengenyam pendidikan
Aliyah, berkawan dengan semua penulis ini dan lengkap bisa belajar pada guru bahasa
indonesianya.
Kreatifitas memang memerlukan
gairah dan satu dosis motivasi yang tinggi – semacam kegilaan, begitu kata
Ahmad Tohari. Karenanya, saya khawatir, ketika mereka sudah bisa memulai
dengan demikian baik, kelak ketika menjadi mahasiswa justru menjadi pemalas,
dan berhenti dalam proses kreatif. Padahal hampir semua pejuang, ia
memulai dari usia muda. Karena, memang hanya yang muda yang tak gentar hidup
dalam gelombang. Selamat membaca!*
Yogyakarta, 21 April 2018
Yogyakarta, 21 April 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar