Minggu, 06 Mei 2018



MENEMBUS BATAS
Karya Siswa MA Sejahtera Pare Kediri
Editor Dianika W Wardani
Pagan Press Mei 2018
Tebal 360 halaman


Semacam Pengantar
Aguk Irawan, MN


Bismillahirahmanirrahim


Saat pertama kali membaca antologi karya generasi sembilan ini, "Menembus Batas," saya tertegun. Jujur, ada rasa haru, sekaligus bangga. Betapa tidak, ketika  berita ramai di luar tentang anak-anak generasi melenia plagiasi dan hanya nyinyir di media sosial, ada anak didik Madrasah Aliyah Sejahtra, Pare, Kediri,  datang dengan segopok karya yang luar biasa indah, bagi angkatannya. Mereka mencatat banyak hal dengan bahasa hati, melalui sastra; cerpen dan puisi.


Satu persatu, mereka mengungkapkan perasaanya yang gemuruh dengan kalimat puitis yang menggetarkan. Hidup di tengah teknologi informasi yang begitu cepat,  nilai-nilai kearifan lokal yang mudah dibuang di tong sampah dan sejumlah permasalahan lain yang menginggapinya; Saat ia terluka.  Saat ia jatuh cinta. Saat  ia gagal dan patah hati. Serta saat ia ingin pergi jauh, ketika harapan sirna dari genggamannya. Tapi semua mengisyaratkan ke satu arah; anak muda yang gigih  meraih cita, dan berani  mati untuk Republik.


Begitu kira-kira saya hendak menyimpulkan dari aneka rupa karya yang tersaji dari buku "Menembus Batas" ini. Ada banyak sajak yang membuat saya terpukau dan  dibuat kaget saat membaca ini. Tetapi saya hanya ingin mengutip beberapa baris, yang kebetulan secara acak saya baca: 
Bersandar disegala bayangan


Seakan bintang yang tiap malamnya
Menghiasi langit itu
Berbisik dan menatap padaku
Indah menawan mendamaikan...

[Winda Sofa Aprliani]


Sajak ini adalah sebuah atribut campuran dari rasa duka, imaji-imaji yang berkeliaran, juga lahir dari realitas-realitas sekitar yang dialami penulisnya:  bersandar, bayangan, bintang, langit, berbisik. Ia telah banyak memungut bahasa simbol, saat orang  merasa terluka atau sepi, dan ia telah menerima semua  rasa itu dengan perasaan yang gemuruh, tetapi ia menemukan sandaran yang kuat dari bayangannya sendiri. Begitu, dalam sajak selau hadir diksi dan tipografi.


Begitu juga saat membaca cerpen-cerpen dalam buku ini, imaji-imaji liar yang bening dan kritis hadir sebagai pelengkap auditif dan visual. Sekedar menyebut  salah satu judul cerpen "Ajari Aku Memeluknya" begitu kuat mendedahkan sense (makna), feeling (rasa),  tone (nada), dan intention (amanat). Karenanya  antologi karya siswa angkatan sembilan ini bisa dijadikan, tidak saja hiburan, tapi juga cermin dan pelajaran untuk kemelut masalah kehidupan. 

Karenanya saya yakin, bahwa antologi siswa ini adalah rekaman peristiwa yang yang menarik untuk dikaji, diteliti, direnungi, dan diapresiasi. Selain itu,  Sungguh saya dikagetkan dengan puluhan judul yang indah, untuk ukuran seorang yang masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Saya jadi merasa ingin  mengenyam pendidikan Aliyah, berkawan dengan semua penulis ini dan lengkap bisa belajar pada guru bahasa indonesianya.


Kreatifitas memang memerlukan gairah dan satu dosis motivasi yang tinggi – semacam kegilaan, begitu kata Ahmad Tohari. Karenanya, saya khawatir, ketika  mereka sudah bisa memulai dengan demikian baik, kelak ketika menjadi mahasiswa justru menjadi pemalas, dan berhenti dalam proses kreatif. Padahal hampir  semua pejuang, ia memulai dari usia muda. Karena, memang hanya yang muda yang tak gentar hidup dalam gelombang. Selamat membaca!*

Yogyakarta, 21 April 2018



Tidak ada komentar:

Posting Komentar