Sabtu, 18 April 2015




ANTOLOGI 5 LAKON AKHUDIAT
Penulis Akhudiat
Harga Rp 60.000


Kota kawedanan (kini kecamatan) Rogojampi hanya dilintasi selajur “jalan beraspal” dari Jember ke Banyuwangi.  Rogojampi berada pada kepanjangan Jalan Banyuwangi dari batas kota Jember dan Jalan Jember dari batas kota Banyuwangi.  Jika  Anyer ke Panarukan dibangun pada masa Gubernur Jenderal Daendeles—kepanjangan tangan Napoleon Bonaparte di Hindia Belanda untuk memerangi Inggris, maka Panarukan-Banyuwangi-Rogojampi-Jember-Probolinggo mungkin masa pembangunan besar-besaran “politik etis” di mana Belanda mengembalikan kekayaan yang dikuras dari Hindia-Belanda.  Semua lajur jalan ini diteduhi pohon-pohon asam Jawa.

Rogojampi yang kawedanan kebagian pembangunan pasar, pemadam kebakaran yang digerakkan pompa tangan (gedungnya disebut “rumah pompa” dekat pasar), pasar hewan, tempat penyembelihan hewan, “standplaat” oplet/dokar/becak.  Juga pegadaian, kantor PTT (pos-telgram-tilpun), gudang garam, stasiun kereta api, jembatan kali Lugonto, bendungan Widoro Gayung (“Concrong”).  Dan kawedanan serta Sekolah Rakyat Rogojampi I  tempat saya belajar tingkat dasar. “ Sekolah rakyat” nomenklatur sejak pendudukan Jepang.

Benar-benar gedung sekolah idaman:  di tepi jalan besar, halaman luas berpasir dengan pohon waru dan kersen, halaman belakang berpohon apokat dan kamar kecil yang menjorok di atas sungai.  Pintu dan jendela besar-besar, sirkulasi udara sangat nyaman karena langit-langitnya tinggi.

Saya sekolah dasar sampai kelas 6 di Rogojampi.  Kupikir dulu Rogojampi adalah toponim paling ganjil dan satu-satunya di atas peta bumi, ternyata di dekat Sooko, Mojokerto, ada kembarannya:  Jampirogo.  Dua desa yang  sama uniknya, ya kan?

Yang lebih menarik perhatian saya bukan SR  I  dan tetangganya Pendopo Kawedanan itu, tetapi ada di seberang jalan di barat SR:  kedai buku dan majalah.  Saat istirahat saya menyeberangi jalan dan “ngintip” dunia luar sekolah dan luar Rogojampi di halaman-halaman majalah dan koran  Surabaya. Ya, curi-curi baca.  Tidak mampu beli.  Uang jajan hanya setali (25 sen):  15 sen nasi pecel atau rawon dan 10 sen ketan sambel.  (1 rupiah = 100 sen). Pengintipan saya teruskan pembacaan sampai tuntas di rumah Pakde Jururawat yang berlangganan “Terompet Masyarakat” dan majalah “Minggu Pagi” (Yogya).  Di salah satu nomor Minggu Pagi saya baca cerpen Motinggo Boesje “Jarum Syringe”. Masih di rumah Pakde malam hari bersama ibu-ibu mendengarkan serial ketoprak Cokrojio RRI Yogya.  RRI juga menyiarkan sandiwara radio yang disutradarai John Simamora.  Di RRI Yogya satu acara lagi yang sangat hebat:  Obrolan Pak Besut dan Man Jamino.

Saya punya acara sendiri di malam hari.  Pulang sekolah pukul satu siang atau masuk sore pulang pukul 4 sore.  Lalu bermain di halaman-halaman rumah siapa saja atau paling sering main layang-layang di kuburan.  Dari kuburan tengok ke timur masih bebas-jelas, belum ada bangunan, tampaklah “kelap-kelip laut di Banyualit”—kini dekat desa pesisir itu lapangan terbang perintis Blimbingsari.  (Proyek pembangunan lapter Blimbingsari yang sempat “memenjarakan dua Bupati Banyuwangi” adalah “belokan sejarah” dalam riwayat hidup saya).

Pukul 6-7 malam ngaji Quran untuk anak-anak (kini jadi lembaga TPQ—Taman Pendidikan Quran) di surau Mbah Najar tukang sunat.  Saya disunat setelah naik ke kelas 2.  Sehabis isya sesudah makan malam:  saya kluyuran se antero Rogojampi.  Sebelum “New York After Midnight” (1984, 1991, 2001, 2002) sudah kususuri “Rogojampi Nights”.  Jujugan pertama bioskop Sampurna, nonton koboi, Mickey Mouse, film-film Jakarta (“film Jowo”) dan Malaya (Malaysia).  Atau di standplaat oplet yang sudah sepi bagai lapangan nonton bakul jamu main sulap. Permainan sulap oleh bakul jamu Mustapa dari Banyuwangi selalu dikagumi penonton  setiap Rebo,  hari pasar hewan,  di bawah pohon-pohon besar trembesi.

Setiap habis panen padi dan palawija, Rogojampi dapat giliran digelari Pasar Malam Keliling.  Yang pasti datang adalah komidi kuda putar, kincir raksasa, pengendara motor dalam “tong setan/edan”, panggung permainan tinju, atau sulap kelas professional, dan judi rolet dengan hadiah perabotan rumah tangga.  Pertunjukan di “tobong” berupa  ketoprak, wayang orang, tonil/sandiwara turunan komedi stambul Kintamani atau Bintang Surabaya atau Ermina Zaenah Show atau Srimulat yang melegenda.

Di samping tinju, sulap, dan tobong-tobong, Pasar Malam juga menjual kue baru dan aneh bagi Rogojampi:  kue dolar dan donat, dihasilkan oleh mesin otomatis, dan menggelar pameran berisi kereta api listrik bergerak memutari maket-maket “kota masa depan”.  Pasar Malam Keliling bagi Rogojampi semacam pengantar seni dan teknologi sesuai lingkungan dan jamannya.

Di luar tobong dan Pasar Malam adalah tandak atau ledek atau kentrung ngamen dengan “lighting system” obor dari bambu, sesekali datang dan keluar-masuk kampung.  “…..suatu malam ketika umur 7 tahun, di kampung Krajan, saya nonton kentrung konon dari Trenggalek…..”

Sandiwara atau tonil kreasi orang Rogojampi sendiri tampil setiap peringatan Hari Kemerdekaan RI atau terkenal dengan sebutan “sandiwara agustusan”, dengan layar turun-naik berbabak-babak di Gedung Nasional Indonesia (GNI).

Pertama kali drama satu babak dan layar hanya sekali naik sekali turun, dipentaskan para pelajar lulusan SMA Malang dan Yogya, berjudul Awal dan Mira karya Utuy T. Sontani.  Ketika itu Rogojampi tidak memiliki tingkat SMP dan SMA.  Drama sebabak karya Taufiq Ismail dipentaskan keliling Jawa Timur oleh grup Lumajang pimpinan Emil Sanosa.  Dan secara rutin setiap Syawal di Idul Fitri hari ke 7 para pelajar yang sekolah di Yogya, anggota Teater Muslim, berpentas dalam acara halal-bi-halal atau syawalan.


Ngaji, sekolah, main layangan di kuburan, terkadang bersamaan Mbah Modin baca talqin di atas kubur baru, kedai buku, sandiwara radio, bioskop, pasar malam, pentas GNI, dan malam-malam Rogojampi—mampir dalam proses kreatifku…..


Tidak ada komentar:

Posting Komentar