Penulis Akhudiat
Harga Rp 60.000
Kota kawedanan (kini kecamatan) Rogojampi hanya dilintasi
selajur “jalan beraspal” dari Jember ke Banyuwangi. Rogojampi berada pada kepanjangan Jalan
Banyuwangi dari batas kota Jember dan Jalan Jember dari batas kota Banyuwangi. Jika
Anyer ke Panarukan dibangun pada masa Gubernur Jenderal
Daendeles—kepanjangan tangan Napoleon Bonaparte di Hindia Belanda untuk
memerangi Inggris, maka Panarukan-Banyuwangi-Rogojampi-Jember-Probolinggo
mungkin masa pembangunan besar-besaran “politik etis” di mana Belanda
mengembalikan kekayaan yang dikuras dari Hindia-Belanda. Semua lajur jalan ini diteduhi pohon-pohon
asam Jawa.
Rogojampi yang kawedanan kebagian pembangunan pasar,
pemadam kebakaran yang digerakkan pompa tangan (gedungnya disebut “rumah pompa”
dekat pasar), pasar hewan, tempat penyembelihan hewan, “standplaat”
oplet/dokar/becak. Juga pegadaian,
kantor PTT (pos-telgram-tilpun), gudang garam, stasiun kereta api, jembatan
kali Lugonto, bendungan Widoro Gayung (“Concrong”). Dan kawedanan serta Sekolah Rakyat Rogojampi I
tempat saya belajar tingkat dasar. “
Sekolah rakyat” nomenklatur sejak pendudukan Jepang.
Benar-benar gedung sekolah idaman: di tepi jalan besar, halaman luas berpasir
dengan pohon waru dan kersen, halaman belakang berpohon apokat dan kamar kecil
yang menjorok di atas sungai. Pintu dan
jendela besar-besar, sirkulasi udara sangat nyaman karena langit-langitnya
tinggi.
Saya sekolah dasar sampai kelas 6 di Rogojampi. Kupikir dulu Rogojampi adalah toponim paling
ganjil dan satu-satunya di atas peta bumi, ternyata di dekat Sooko, Mojokerto, ada
kembarannya: Jampirogo. Dua desa yang sama uniknya, ya kan?
Yang lebih menarik perhatian saya bukan SR I dan
tetangganya Pendopo Kawedanan itu, tetapi ada di seberang jalan di barat
SR: kedai buku dan majalah. Saat istirahat saya menyeberangi jalan dan
“ngintip” dunia luar sekolah dan luar Rogojampi di halaman-halaman majalah dan
koran Surabaya. Ya, curi-curi baca. Tidak mampu beli. Uang jajan hanya setali (25 sen): 15 sen nasi
pecel atau rawon dan 10 sen ketan sambel.
(1 rupiah = 100 sen). Pengintipan saya teruskan pembacaan sampai tuntas
di rumah Pakde Jururawat yang berlangganan “Terompet Masyarakat” dan majalah
“Minggu Pagi” (Yogya). Di salah satu
nomor Minggu Pagi saya baca cerpen Motinggo Boesje “Jarum Syringe”. Masih di
rumah Pakde malam hari bersama ibu-ibu mendengarkan serial ketoprak Cokrojio
RRI Yogya. RRI juga menyiarkan sandiwara
radio yang disutradarai John Simamora.
Di RRI Yogya satu acara lagi yang sangat hebat: Obrolan Pak Besut dan Man Jamino.
Saya punya acara sendiri di malam hari. Pulang sekolah pukul satu siang atau masuk
sore pulang pukul 4 sore. Lalu bermain
di halaman-halaman rumah siapa saja atau paling sering main layang-layang di
kuburan. Dari kuburan tengok ke timur
masih bebas-jelas, belum ada bangunan, tampaklah “kelap-kelip laut di
Banyualit”—kini dekat desa pesisir itu lapangan terbang perintis
Blimbingsari. (Proyek pembangunan lapter
Blimbingsari yang sempat “memenjarakan dua Bupati Banyuwangi” adalah “belokan
sejarah” dalam riwayat hidup saya).
Pukul 6-7 malam ngaji Quran untuk anak-anak (kini jadi
lembaga TPQ—Taman Pendidikan Quran) di surau Mbah Najar tukang sunat. Saya disunat setelah naik ke kelas 2. Sehabis isya sesudah makan malam: saya kluyuran se antero Rogojampi. Sebelum “New York After Midnight” (1984,
1991, 2001, 2002) sudah kususuri “Rogojampi Nights”. Jujugan
pertama bioskop Sampurna, nonton koboi, Mickey Mouse, film-film Jakarta
(“film Jowo”) dan Malaya (Malaysia).
Atau di standplaat oplet yang sudah sepi bagai lapangan nonton bakul
jamu main sulap. Permainan sulap oleh bakul jamu Mustapa dari Banyuwangi selalu
dikagumi penonton setiap Rebo, hari pasar hewan, di bawah pohon-pohon besar trembesi.
Setiap habis panen padi dan palawija, Rogojampi dapat
giliran digelari Pasar Malam Keliling.
Yang pasti datang adalah komidi kuda putar, kincir raksasa, pengendara
motor dalam “tong setan/edan”, panggung permainan tinju, atau sulap kelas
professional, dan judi rolet dengan hadiah perabotan rumah tangga. Pertunjukan di “tobong” berupa ketoprak, wayang orang, tonil/sandiwara
turunan komedi stambul Kintamani atau Bintang Surabaya atau Ermina Zaenah Show
atau Srimulat yang melegenda.
Di samping tinju, sulap, dan tobong-tobong, Pasar Malam
juga menjual kue baru dan aneh bagi Rogojampi:
kue dolar dan donat, dihasilkan oleh mesin otomatis,
dan menggelar pameran berisi kereta api listrik bergerak memutari maket-maket
“kota masa depan”. Pasar Malam Keliling
bagi Rogojampi semacam pengantar seni dan teknologi sesuai lingkungan dan
jamannya.
Di luar tobong dan Pasar Malam adalah tandak atau ledek
atau kentrung ngamen dengan “lighting system” obor dari bambu, sesekali datang
dan keluar-masuk kampung. “…..suatu
malam ketika umur 7 tahun, di kampung Krajan, saya nonton kentrung konon dari
Trenggalek…..”
Sandiwara atau tonil kreasi orang Rogojampi sendiri
tampil setiap peringatan Hari Kemerdekaan RI atau terkenal dengan sebutan
“sandiwara agustusan”, dengan layar turun-naik berbabak-babak di Gedung
Nasional Indonesia (GNI).
Pertama kali drama satu babak dan layar hanya sekali naik
sekali turun, dipentaskan para pelajar lulusan SMA Malang dan Yogya, berjudul Awal dan Mira karya Utuy T. Sontani. Ketika itu Rogojampi tidak memiliki tingkat
SMP dan SMA. Drama sebabak karya Taufiq
Ismail dipentaskan keliling Jawa Timur oleh grup Lumajang pimpinan Emil Sanosa. Dan secara rutin setiap Syawal di Idul Fitri
hari ke 7 para pelajar yang sekolah di Yogya, anggota Teater Muslim, berpentas
dalam acara halal-bi-halal atau syawalan.
Ngaji, sekolah, main layangan di kuburan, terkadang
bersamaan Mbah Modin baca talqin di
atas kubur baru, kedai buku, sandiwara radio, bioskop, pasar malam, pentas GNI,
dan malam-malam Rogojampi—mampir dalam proses kreatifku…..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar