Rabu, 10 Mei 2017



DOKUMEN BERLIN
atawa bagaimana Negara Orde Baru 
menindas warganegara Republik Indonesia

Pipit R. Kartawidjaja
Halaman: 708 hlm

Penyalin Trinanti Sulamit
Penyunting Veven Sp. Wardhana

Penyelia Seno Gumira Ajidarma

Penerbit Pagan Press bekerjasama Serikat Alumni Jerman
dan Henk Publica Surabaya, Juli 2017


Sepintas lalu perjuangannya hanya demi sepotong kertas, tetapi prinsip di baliknya itulah yang terpenting, yang jika bagi orang lain mungkin ‘tidak praktis’, bagi Pipit dalam masa-masa ‘jahiliyah’ pra-reformasi itu nyaris bagaikan ‘segalagalanya’.

Dengan kepentingan yang menjadi terkorbankan, dan kehidupan teracak-acak karenanya, pengalaman Pipit ini kiranya menjadi narasi yang mutlak diperlukan bagi ilustrasi sejarah kebangsaan, sebagaimana yang seharusnyalah terkuak dari segala dokumen. Memang, kita juga harus berterimakasih bahwa Pipit tidak ingin melupakan pengalaman pahitnya, misalnya dengan membuang atau membakar saja berkas-berkas yang memenuhi tembok rumahnya di Berlin, melainkan dengan tekun memindainya, tampaknya seluruhnya, sehingga orang banyak bisa belajar dari dokumen ini.

Itu kata saya. Orang lain, setelah membaca berkas-berkas yang sama, sangat mungkin memiliki pendapat berbeda yang lebih bermutu dan berguna. Justru itulah yang membuat saya merasa hanya akan menggagahi atawa memperkosa dokumen ini, jika sepintas lalu dapat membuat ‘fiksi’ yang seru daripadanya, tetapi menutup peluang orang lain menggali perbendaharaannya yang kaya dengan pendekatannya sendiri. Maka biarlah surat-surat, apapun yang tertulis, termasuk bon makan dalam ‘gerilya’ Pipit sebagai pelayan restoran, ini terbit sebagai dokumen terbuka — meski semua nama yang mungkin terugikan lebih
baik disamarkan, demi itikad yang memang baik: yakni agar bangsa Indonesia benar-benar belajar dari pengalaman.

Bukankah pengalaman — seharusnya — adalah guru yang terbaik?

SENO GUMIRA ADJIDARMA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar